Bangsa Indonesia Memproklamasikan Kemerdekaan Dibacakan Oleh
Klip suara naskah yang dibacakan oleh Soekarno di studio RRI
Tempat pembacaan teks naskah Proklamasi Otentik oleh Soekarno untuk pertama kali adalah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 (hari yang diperingati sebagai "Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia"), pukul 11.30 waktu Nippon (sebutan untuk negara Jepang pada saat itu). Waktu Nippon adalah merupakan patokan zona waktu yang dipakai pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang kala itu. Namun perlu diketahui pula bahwa pada saat teks naskah Proklamasi itu dibacakan oleh Bung Karno, waktu itu tidak ada yang merekam suara ataupun video, yang ada hanyalah dokumentasi foto.
Suara asli dari Soekarno saat membacakan teks naskah Proklamasi yang sering kita dengar saat ini adalah bukan suara yang direkam pada tanggal pada tanggal 17 Agustus 1945 tetapi adalah suara asli Soekarno yang direkam pada tahun 1951 di studio Radio Republik Indonesia (RRI), yang sekarang bertempat di Jalan Medan Merdeka Barat 4–5, Jakarta Pusat. Dokumentasi berupa suara asli hasil rekaman atas pembacaan teks naskah Proklamasi oleh Bung Karno ini dapat terwujudkan adalah berkat prakarsa dari salah satu pendiri RRI, Jusuf Ronodipuro.[41]
Naskah baru setelah mengalami perubahan
Teks naskah Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan naskah "Proklamasi Otentik", adalah merupakan hasil ketikan Sayuti Melik, seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan Proklamasi, yang isinya adalah sebagai berikut:
Tahun pada kedua teks naskah Proklamasi di atas (baik pada teks naskah Proklamasi Klad maupun pada teks naskah Proklamasi Otentik) tertulis angka "tahun 05" yang merupakan kependekan dari angka "tahun 2605", karena tahun penanggalan yang dipergunakan pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang saat itu adalah sesuai dengan tahun penanggalan yang berlaku di Jepang, yang kala itu adalah "tahun 2605".
Penyusunan naskah Proklamasi
Pada malam hari setelah Peristiwa Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno–Hatta yang diantar oleh Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat "bushido", ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Sukarno–Hatta lantas meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokyo dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, mereka menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No. 1) diiringi oleh Shunkichiro Miyoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi.[24] Setelah menyapa Sukarno dan Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Teks proklamasi ditulis di ruang makan laksamana Tadashi Maeda. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Soekarno, Hatta, dan Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M. Diah, Sayuti Melik, Soekarni, dan Soediro.[25][26] Miyoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif.[27] Tentang hal ini, Soekarno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power".[22][24] Hatta, Subardjo, B.M. Diah, Sukarni, Sudiro dan Sayuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima, tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.[28]
Menurut sejarawan Benedict Anderson, kata-kata dan deklarasi proklamasi tersebut harus menyeimbangkan kepentingan kepentingan internal Indonesia dan Jepang yang saling bertentangan pada saat itu.[22] Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung dari pukul dua hingga empat dini hari.[29] Setelah konsep selesai disepakati, Soekarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia,[6] dan Sayuti menyalin dan mengetik naskah tersebut,[30][31] menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan Angkatan Laut Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.[32] Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[33] (sekarang Jalan Proklamasi Nomor 1).
Namun bangsa Romawi akhirnya dikalahkan oleh bangsa Persia.
Hal itu sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an surat Ar Rum ayat 2.
Artinya: Bangsa Romawi telah dikalahkan,
Peringatan detik-detik proklamasi
Peringatan detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka dipimpin oleh Presiden RI selaku Inspektur Upacara. Upacara dimulai sekitar pukul 10.00 WIB untuk memperingati awal upacara Proklamasi tahun 1945. Seremoni peringatan biasanya disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun televisi nasional Indonesia. Acara-acara pada pagi hari termasuk: penembakan meriam dan sirene, pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih (Bendera Indonesia), pembacaan naskah Proklamasi, dan lain sebagainya. Pada sore hari sekira pukul 17.00 terdapat acara penurunan bendera Sang Saka Merah Putih.
Tema Peringatan Hari Kemerdekaan
Rangkaian persoalan yang dipaparkan di atas merupakan refleksi atas tantangan yang harus dipecahkan oleh pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia dalam perjalanan menuju 100 tahun Indonesia merdeka. Dalam konteks ini, kemerdekaan bukan sekadar sebuah peristiwa yang telah terjadi, melainkan sebuah perjalanan yang terus berlangsung, yang menuntut setiap individu untuk selalu beradaptasi dan mengatasi tantangan yang ada.
Peringatan Proklamasi Kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia tahun ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan bangsa. Tema besar yang diusung adalah “Nusantara Baru, Indonesia Maju.” Tema ini dipilih untuk mencerminkan momen transisi penting yang tengah dijalani bangsa Indonesia.
Salah satu fokus utama peringatan tahun ini adalah pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Ibu kota baru, yang diberi nama Ibukota Nusantara (IKN), bukan sekadar perubahan administratif, tetapi sebagai simbol dari upaya untuk meratakan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat integrasi nasional dan mendukung pemerataan pembangunan yang lebih merata.
Tahun 2024 juga menandai pergantian kepemimpinan di Indonesia. Melalui pemilihan umum pada Februari 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka terpilih sebagai presiden dan wakil presiden yang baru, menggantikan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin.
Dengan tema “Nusantara Baru, Indonesia Maju,” peringatan Hari Kemerdekaan tahun ini membawa harapan baru dan semangat untuk melanjutkan pembangunan berkelanjutan. Bangsa Indonesia menyambut masa depan dengan tekad untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan yang lebih merata, serta siap menghadapi berbagai tantangan yang ada di hadapan. (LITBANG KOMPAS)
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun Masehi, atau tanggal 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang (kōki) (17 Agustus Shōwa 20 dalam penanggalan Jepang itu sendiri) pukul 10:00 waktu Jepang, yang dibacakan oleh Soekarno dengan didampingi oleh Mohammad Hatta di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat.
Chairul Basri, yang bekerja pada kantor propaganda Jepang, disuruh mencari rumah yang berhalaman luas. Rumah Pegangsaan Timur 56 milik orang Belanda ditukar dengan rumah lain di Jalan Lembang. Jadi rumah itu memang disiapkan Jepang untuk Bung Karno. Chairul tidak menyebut nama pemilik rumah itu. Saat diambil alih pemerintah Jepang untuk Sukarno, rumah itu milik Mr. Jhr. P.R. Feith seperti disebut Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi koran Sin Po dari 1925 sampai 1947, dalam Doea Poeloe Lima Tahon Sebagi Wartawan, 1922–1947 (1948).
Dari pemberitaan di koran Sin Po 5 Juli 1948 diketahui bahwa rumah tersebut merupakan rumah bersejarah bagi bangsa Indonesia karena menjadi tempat diproklamasikannya kemerdekaan. Rumah tersebut juga pernah dipakai sebagai rumah pertemuan. Belanda juga pernah memfungsikan rumah tersebut sebagai rumah tawanan juga. Rumah itu pun berubah lagi menjadi Gedung Republik. Hingga akhirnya pemiliknya yang orang Belanda menjualnya seharga 250 ribu gulden (ƒ). Rumah ini akhirnya dibeli oleh pemerintah Indonesia. Begini bunyi pemberitaan tersebut:
"Eigenaar (pemilik rumah) itoe roemah jang baroe sadja kombali dari Nederland telah menetapken mendjoel miliknja dengen harga ƒ 250.000,- pada pemerentah repoeblik"
Dari sini belum ditemukan bukti keterkaitan antara pembelian rumah oleh pemerintah Republik Indonesia di tahun 1948 dengan informasi sumbangan rumah Pegangsaan Timur 56 oleh Faradj Martak sebagaimana tertera di dalam surat Ir. M. Sitompoel, Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan, tanggal 14 Agustus 1950.
Proklamasi yang dibacakan dari rumah Pegangsaan Timur 56 tersebut menandai dimulainya perlawanan diplomatik dan bersenjata dari Revolusi Nasional Indonesia, yang berperang melawan pasukan Belanda dan warga sipil pro-Belanda, hingga Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949.[1]
Pada tahun 2005, Belanda menyatakan bahwa mereka telah memutuskan untuk menerima secara de facto tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.[2] Namun, pada tanggal 14 September 2011, pengadilan Belanda memutuskan dalam kasus pembantaian Rawagede bahwa Belanda bertanggung jawab karena memiliki tugas untuk mempertahankan penduduknya, yang juga mengindikasikan bahwa daerah tersebut adalah bagian dari Hindia Timur Belanda, bertentangan dengan klaim Indonesia atas 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaannya.[3] Dalam sebuah wawancara tahun 2013, sejarawan Indonesia Sukotjo, meminta pemerintah Belanda untuk secara resmi mengakui tanggal kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.[4] Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui tanggal 27 Desember 1949 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.[5]
Naskah Proklamasi ditandatangani oleh Sukarno (yang menuliskan namanya sebagai "Soekarno" menggunakan ejaan Van Ophuijsen) dan Mohammad Hatta,[6] yang kemudian ditunjuk sebagai presiden dan wakil presiden berturut-turut sehari setelah proklamasi dibacakan.[7][8]
Hari Kemerdekaan dijadikan sebagai hari libur nasional melalui keputusan pemerintah yang dikeluarkan pada 18 Juni 1946.
Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (disingkat BPUPK; Jepang: 独立準備調査会, Dokuritsu Junbi Chōsa-kai), berganti nama menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (disingkat PPKI; Jepang: 独立準備委員会, Dokuritsu Junbi Iin-kai), untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki, yang menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno dan Hatta selaku pimpinan PPKI serta Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam, untuk bertemu Marsekal Hisaichi Terauchi, pimpinan tertinggi Jepang di Asia Tenggara dan putra mantan Perdana Menteri Terauchi Masatake. Mereka bertiga dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.[11] Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.[12]
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta, dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, berdasarkan tim PPKI. Meskipun demikian, Terauchi menginginkan proklamasi diadakan pada 24 Agustus 1945.[14] Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta, dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.[16] Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak PPKI. Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang.
Pada tanggal 2 September 1945 Jepang secara resmi menyerah kepada Sekutu di kapal USS Missouri.[18] Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Namun, kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Achmad Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (rumah Maeda di Jalan Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat dan menjawab bahwa ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari tempat Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan PPKI pada pukul 10.00 pagi tanggal 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No. 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10.00 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul.
Pembangunan dan Kemajuan
Proklamasi Kemerdekaan memberikan landasan untuk pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia. Momen ini memacu semangat untuk terus berusaha, berinovasi, dan berkontribusi dalam memajukan negara serta mencapai kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pembacaan naskah proklamasi
Pada pagi hari, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Mohammad Tabrani, dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10.00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Setelah itu, Sang Saka Merah Putih, yang telah dijahit oleh Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera, tetapi ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[33] Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Monumen Nasional.[34]
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S. Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, tetapi ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[33]
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 1945. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan Mohammad Hatta terpilih atas usul dari Otto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Namun bangsa Romawi akhirnya dikalahkan oleh bangsa Persia.
Hal itu sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an surat Ar Rum ayat 2.
Artinya: Bangsa Romawi telah dikalahkan,
Tafsir Ringkas Kemenag
Ayat ini berisi prediksi Al-Qur’an terhadap kejadian yang akan datang.
Bangsa Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel pada awalnya telah dikalahkan oleh Bangsa Persia pemeluk Majusi.
Berita Bangsa Romawi Dikalahkan oleh Bangsa Persia, Negeri yang Dekat dengan Kota Mekah, Tafsir Surat Ar Rum Ayat 2 (Sumber: freepik/frimufilms)
Ayat ini menerangkan bahwa bangsa Romawi telah dikalahkan oleh bangsa Persia di negeri yang dekat dengan kota Mekah, yaitu negeri Syiria.
Beberapa tahun kemudian setelah mereka dikalahkan, maka bangsa Romawi akan mengalahkan bangsa Persia sebagai balasan atas kekalahan itu.
Bangsa Romawi yang dimaksud dalam ayat ini ialah Kerajaan Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel, bukan kerajaan Romawi Barat yang berpusat di Roma.
Halaman Selanjutnya :
Kerajaan Romawi Barat, jauh sebelum peristiwa yang diceritakan dalam ayat ini terjadi, sudah hancur, yaitu pada tahun 476 Masehi.
Di tengah hiruk-pikuk perkembangan global dan dinamika politik, kemerdekaan yang dulu dipertaruhkan dengan darah dan air mata kini harus dihadapi dengan kesadaran baru akan tantangan yang lebih kompleks. Perjuangan mencapai kemerdekaan dari penjajah telah selesai, namun tantangan untuk menjaga dan mempertahankan kemerdekaan yang hakiki belumlah selesai.
Beberapa tantangan utama yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini meliputi ketidakmerataan ekonomi, akses pendidikan berkualitas, kesetaraan hak berkeyakinan, pelanggaran HAM dan tindakan represif, serta penggusuran dan perampasan tanah.
Salah satu tantangan utama adalah ketidakmerataan, kesenjangan, dan ketimpangan ekonomi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2024 terdapat 25,22 juta orang atau 9,03 persen dari penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka adalah orang-orang yang pengeluarannya dalam sebulan ada di bawah standar garis kemiskinan, yaitu Rp 550.458 per kapita per bulan.
Persentase penduduk miskin ini mengalami penurunan dibandingkan dengan periode Maret 2023. Penurunan tahun 2024 sekaligus merupakan penurunan ketiga kalinya sejak pandemi Covid-19. Pada saat pandemi, angka kemiskinan sempat melonjak hingga di atas 10 persen (double digit).
Meski persentase ini mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, penurunan tersebut belum sepenuhnya mencerminkan peningkatan kesejahteraan yang merata. Penelitian oleh SMERU Research Institute menyebutkan bahwa standar garis kemiskinan yang digunakan saat ini untuk mengukur angka kemiskinan terlalu rendah dan tidak relevan lagi dengan status ekonomi Indonesia yang sudah naik kelas dari negara berpendapatan rendah.
Pada 2023, Indonesia telah termasuk negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country) dengan produk nasional bruto (PNB) per kapita sebesar 4.580 dollar AS. Berdasarkan standar negara menengah atas itu, seseorang semestinya baru dianggap miskin jika pengeluarannya kurang dari 6,85 dollar AS PPP (purchasing power parity/paritas daya beli) atau sekitar Rp 1,2 juta per bulan. Jauh dari standar garis kemiskinan RI saat ini (Rp 550.458 per bulan) yang justru lebih dekat dengan standar rata-rata negara berpendapatan rendah. Warga yang konsumsinya di atas garis tersebut tidak lagi dianggap miskin meski kenyataannya mereka masih hidup sangat rentan (Kompas, 15 Januari 2024).
Selain itu, kesenjangan antara kaya dan miskin masih tinggi, dengan sebagian besar kekayaan negara terpusat di tangan segelintir orang. Berdasarkan data BPS, rasio gini Indonesia pada Maret 2024 sebesar 0,379. Rasio gini merupakan ukuran yang paling sering digunakan dalam mengukur tingkat ketimpangan. Nilai rasio gini berkisar 0 (nol) hingga 1 (satu), di mana semakin mendekati 1 mengindikasikan tingkat ketimpangan yang semakin tinggi.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Kemiskinan di Jakarta – Seorang anak berdiri di depan pintu rumah bedeng yang dibangun kembali di lahan bekas kebakaran di Kampung Bandan, Pademangan, Jakarta Utara, Jumat (5/2/2016). Banyaknya pendatang miskin yang mencoba mencari perubahan hidup di Jakarta menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang tinggi.
Tantangan lainnya adalah akses terhadap pendidikan berkualitas. Meskipun kebijakan pendidikan telah mengalami berbagai pembaruan, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (APK PT) pada 2024 baru mencapai 39,37 persen, di bawah rata-rata global yang 40 persen. Bahkan, lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia (43 persen), Thailand (49,29 persen), dan Singapura (91,09 persen) (Kompas, 20 Februari 2024).
APK PT digunakan untuk mengetahui berapa banyak penduduk usia 17-24 tahun yang menempuh pendidikan tinggi. Kendala utamanya faktor ekonomi, yakni biaya kuliah yang tinggi. Sebagian besar dari mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi berasal dari keluarga tidak mampu. Ini menunjukkan adanya ketimpangan struktural dalam sistem pendidikan kita. Padahal, negara dengan APK PT lebih tinggi punya peluang menjadi negara maju karena kualitas SDM-nya tinggi.
Kualitas pendidikan juga terlihat dari rendahnya skor Programme for International Student Assessment (PISA) di bidang membaca, matematika, dan sains yang di bawah 400. Selain itu, kualitas dan fasilitas pendidikan antardaerah juga masih timpang.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa menyoroti perkembangan rata-rata lama sekolah (RLS) di Indonesia. RLS di 2005 mencapai 7,3 tahun dan meningkat menjadi 9,08 tahun pada 2022 (Kompas, 1 Juni 2023).
“Bayangkan dalam 17 tahun (RLS) cuma naik 1,78 tahun. Karena itu, memacu pendidikan menjadi sangat penting,” ujarnya dalam diskusi kelompok terpadu (FGD) “Visi Indonesia Emas 2045: Manusia Cerdas dan Sehat Menuju Indonesia Emas 2045” di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, Rabu (31/5/2023).
Lebih lanjut, Suharso mengatakan, tingkat pendidikan pekerja Indonesia (per Agustus 2022) didominasi oleh lulusan sekolah dasar (SD). Padahal, pendidikan berkualitas yang merata menjadi salah satu poin penting transformasi sosial.
Pendidikan bukan hanya sebuah hak dasar, tetapi juga merupakan kunci untuk membuka kesempatan dan mengembangkan potensi individu. Kemerdekaan yang sejati mencakup kebebasan untuk mengejar pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan seseorang untuk mencapai potensi penuh mereka.
KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Siswa-siswa kelas jauh SDN 4 Mulyasejati sedang bermain di halaman sekolah di Dusun Sukamulya, Desa Mulyasejati, Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang, Senin (17/7/2017). Sekolah ini merupakan satu-satunya sekolah di daerah perbukitan dan hutan jati yang belum dialiri listrik dan aspal ini. Meski berada di bangunan sekolah yang sudah tidak layak, murid-murid tetap bersemangat belajar dalam keterbatasannya.
Indonesia dikenal dengan keragaman budaya, suku, dan agama yang melimpah. Namun, kerukunan antar kelompok sering kali diuji oleh ketegangan sosial dan konflik sektarian. Salah satu isu toleransi yang paling sering muncul ialah kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk dalam melaksanakan ibadah.
Aturan mengenai hak kebebasan beragama sudah lama tertuang dalam Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/UDHR). Isinya, “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama”. Selain Pancasila, Indonesia telah menerjemahkan nilai ini dalam hak “bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” dalam Pasal 28E Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) 2023, disebut skor nasional mencapai 76,02 dengan kategori tinggi. Namun, praktik kehidupan sehari-hari masih menunjukkan tingginya ketegangan.
Laporan Setara Institute mencatat, terdapat 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah selama 2007 hingga 2022. Gangguan tersebut meliputi pembubaran serta penolakan aktivitas ibadah, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan sebagainya.
Masalah ini juga mencerminkan kegagalan pemerintah dalam memastikan kesetaraan hak beragama. Contoh nyata dari ketidakmampuan pemerintah tersebut ialah adanya aturan pemerintah yang diskriminatif. Dalam hal pembangunan rumah ibadah saja, misalnya, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 menghadirkan segudang persyaratan administratif yang mengatur pendirian rumah ibadah dengan hitungan matematis dan mengabaikan hak-hak asasi manusia (Kompas, 4/6/ 2021).
Beberapa persyaratan ini ialah daftar KTP umat pengguna tempat ibadah, dukungan masyarakat setempat setidaknya 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa, dan rekomendasi dari kantor departemen agama kabupaten/kota serta Forum Kerukunan Umat Beragama kabupaten/kota.
Bagi para penganut agama mayoritas, tentu hal ini tidak menjadi persoalan. Namun, bagi agama minoritas, syarat administratif ini bisa jadi terlampau sulit untuk dipenuhi. Misalnya, persyaratan rekomendasi dari FKUB di tingkat daerah. Berdasarkan peraturan menteri yang sama, anggota FKUB dipilih oleh pemerintah daerah dan disesuaikan dengan proporsi penganut agama di daerahnya.
Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi dan reformasi kebijakan serta praktik hukum untuk memastikan bahwa semua warga negara dapat menjalani keyakinan mereka tanpa diskriminasi dan intimidasi.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Ibu-ibu pengajian pulang dari Masjid Al-Azhar yang dibangun dengan dinding yang sama dengan Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) Nasaret, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Senin (16/12/2019). Gereja dan masjid satu dinding ini menjadi salah satu simbol kerukunan umat beragama di Kalteng.
Merujuk laporan Amnesty Internasional Indonesia, Indonesia juga semakin terjerat dalam siklus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sistematis, melibatkan aparat negara dalam praktik-praktik yang melanggar hak-hak dasar warga. Negara kerap menerapkan tindakan-tindakan represif terhadap penolakan warga sipil yang menentang proyek-proyek yang merugikan masyarakat maupun lingkungan.
Salah satu contoh nyata adalah kriminalisasi terhadap suara-suara kritis. Pada 4 April 2024, aktivis lingkungan hidup Daniel Frits Maurits Tangkilisan dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara dan denda Rp 5 juta karena mengkritik budidaya udang di Karimunjawa yang merusak lingkungan. Ia dinyatakan bersalah atas ujaran kebencian menurut Pasal 45A Jo. Pasal 28 ayat (2) UU ITE UU ITE.
Di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, negara gagal melakukan konsultasi yang memadai dengan masyarakat mengenai proyek pembangunan yang mengancam akses Masyarakat Adat ke tanah leluhur mereka. Ketika masyarakat Rempang menolak proyek tersebut, aparat keamanan merespons dengan kekerasan pada 7 September 2023, menggunakan meriam air, gas air mata, dan peluru karet.
Di sisi lain, kekerasan di Tanah Papua terus berlangsung. Operasi militer di Papua terus menyulut konflik. Baku tembak aparat keamanan dengan kelompok pro-kemerdekaan Papua tetap terjadi. Tindakan represif menghilangkan kebebasan individu untuk mengekspresikan pendapat mereka, berkumpul dengan orang lain, dan berpartisipasi dalam kehidupan publik.
Melihat masalah ini, perlu untuk adanya reformasi mendalam dalam penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para aktivis Kamisan bersama mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menggelar Aksi Kamisan ke-772 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (4/5/2023). Aksi Kamisan ke-772 ini digelar dengan tema Peringatan 25 Tahun Reformasi : Tegakkan Supremasi Hukum dan HAM. Dalam aksi kali ini mereka meminta Pemerintah, khususnya Presiden, untuk benar-benar melaksanakan amanah agenda reformasi tanpa kepentingan politik praktis. Selain itu, mereka juga menuntut Jaksa Agung membentuk Tim Penyidik Ad Hoc untuk menindaklanjuti sejumlah pelanggaran HAM Berat masa lalu yang telah diselidiki Komnas HAM.
Dalam upaya percepatan pembangunan infrastruktur dan proyek strategis nasional, Indonesia sering kali menghadapi masalah serius terkait pembebasan tanah. Demi mencapai target pembangunan yang ambisius, sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat lokal, seperti petani, nelayan, dan komunitas adat, yang terdampak secara langsung oleh proses tersebut.
Menurut data dari Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah dan Pembangunan Pertanahan Kementerian ATR/BPN tahun 2021, telah dilakukan pembebasan tanah seluas 23.000 hektar untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) dan 10.000 hektar untuk proyek non-PSN. Walaupun tujuan kebijakan ini adalah mempercepat realisasi proyek-proyek penting untuk kemajuan ekonomi negara, kenyataannya sering kali memicu eskalasi penggusuran dan perampasan tanah, yang mengakibatkan konflik dengan masyarakat yang kehilangan akses terhadap tanah mereka.
Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), misalnya, selama periode waktu 2020-2023 setidaknya terdapat 115 konflik agraria yang disebabkan oleh kebijakan proyek strategis nasional. Penggusuran yang terjadi sering kali tidak diimbangi dengan kompensasi yang adil atau relokasi yang layak. Hal ini menyebabkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat terdampak, yang harus menghadapi kehilangan mata pencaharian serta tempat tinggal mereka.
Kebijakan yang dimaksudkan untuk mendorong kemajuan justru memperburuk ketidakadilan sosial. Pembangunan yang berkelanjutan seharusnya tidak hanya mengukur kemajuan dari segi infrastruktur semata, tetapi juga harus mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat yang terdampak.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Warga duduk di tepian rel kereta api yang berada di sekitar perkampungan padat penduduk di Empang, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/12/2020). Pemerintah pusat melalui Kementrian PUPR memberikan dana bantuan sebesar Rp 68 miliar, dari jumlah dana total Rp 382 miliar untuk seluruh Indonesia, kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk pelaksanaan program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku). Program ini untuk perbaikan kawasan pemukiman di perkotaan, terutama pemukiman padat. Beberapa masyarakat berharap jika program ini bukan program penggusuran dan benar-benar dilaksanakan untuk memperbaiki kualitas kehidupan mereka di lingkungan padat ini.